Bismillah.
Imam al-Ajurri rahimahullah meriwayatkan dari Umair bin Habib seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau berkata, “Iman bertambah dan berkurang.” Ada yang bertanya kepadanya, “Seperti apa itu bertambah dan berkurangnya?” beliau pun menjawab, “Apabila kita mengingat Allah ‘azza wa jalla, memuji-Nya, dan takut kepada-Nya, itulah bertambahnya iman. Namun apabila kita lalai atau menyia-nyiakan, itulah berkurangnya iman.” (lihat asy-Syari’ah, 2/583)
Di dalam atsar/riwayat ini dijelaskan kepada kita bahwa iman bisa mengalami peningkatan dan penurunan. Diantara sebab meningkatnya iman adalah dengan berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan takut kepada-Nya. Dan diantara sebab surutnya iman adalah karena kelalaian dan membuang-buang waktu dalam kesia-siaan.
Hal ini memberikan pelajaran bagi kita betapa pentingnya dzikir kepada Allah dalam hidup seorang muslim. Karena dzikir akan menjadi benteng dan perisai yang melindunginya dari kemerosotan dan krisis keimanan. Dzikir bukan hanya di lisan, akan tetapi dzikir yang sesuai antara apa yang diucapkan oleh lisan dengan apa yang tersimpan di dalam hatinya. Oleh sebab itulah Allah memerintahkan kita untuk berdzikir kepada-Nya dengan sebanyak-banyaknya.
Selain itu, riwayat ini juga berisi motivasi kepada kita untuk memperbanyak amal salih dan ketaatan untuk membendung arus kerusakan yang akan mengikis nilai-nilai keimanan. Diantara amal salih itu adalah dengan banyak memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya. Oleh sebab itu kita dapati banyak dzikir dan doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berisikan pujian dan sanjungan kepada Allah. Seperti misalnya subhanallahi wa bihamdih, subhanallahil ‘azhiim.
Kemudian, pokok diantara semua sebab kebaikan dan penjagaan iman itu adalah tertanamnya rasa takut di dalam hati. Rasa takut inilah yang akan mencegah hamba dari menerjang larangan atau menelantarkan kewajiban. Rasa takut inilah yang akan melahirkan sikap takwa dan mendahulukan aturan dan ketetapan Allah di atas perasaan dan hawa nafsunya.
Perubahan kualitas iman pada diri seorang akan terjadi berbanding lurus dengan kualitas dan frekuensi dzikir dan syukurnya kepada Allah. Semakin tinggi kualitas dzikir dan syukurnya maka semakin besar pula kekuatan iman yang diraihnya.
Sebaliknya, semakin rendah kualitas dzikir dan syukurnya maka semakin kecil peningkatan iman yang dicapai atau bahkan bisa jadi tidak menambah imannya sedikit pun. Seperti halnya keadaan orang munafik yang tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali. Dzikirnya tidak membuahkan kekuatan iman disebabkan tidak ada keselarasan antara apa yang diucapkan dengan isi hatinya. Demikian pula keadaan orang musyrik yang gemar berbuat baik kepada sesama; tidak ada kekuatan iman yang bisa dihasilkan darinya; karena ia telah kehilangan pondasi dan syarat diterimanya amalan yaitu tauhid.
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa sesungguhnya sumber utama kekuatan iman adalah pada tauhid, ikhlas, dan ketaatan. Oleh sebab itu para ulama menyatakan bahwa iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena maksiat. Sementara tauhid dan keikhlasan adalah syarat untuk diterimanya segala bentuk amal dan ketaatan. Karena itulah Allah memuji Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dengan sifat qaanitan lillah -selalu taat- dan haniifan -yaitu ikhlas dalam beribadah-. Dengan sebab itulah Allah menempatkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam pada derajat imam/teladan.
Wallahu a’lam bish shawaab.